a)
Definisi
Osteoporosis adalah penyakit tulang metabolik
yang ditandai dengan pengurangan densitas tulang yang membuat tulang menjadi
rapuh dan mudah fraktur. Osteoporosis dikenal sebagai silent disease karena gejala dan nyeri tidak muncul sampai
terjadi fraktur. Tanpa usaha pencegahan atau pengobatan, Osteoporosis dapat
berkembang/memburuk tanpa adanya rasa nyeri sampai patah tulang terjadi,
terutama pada hip , vertebra, dan
pergelangan tangan. Pada fraktur paggul masih ada pergerakan minimal dan
kemudian pasien biasanya mulai bergantung pada suatu alat penyokong berdiri.
Sedangkan pada fraktur vertebra menyebabkan pengurangan tinggi badan, postur
bungkuk dan nyeri kronis.
b)
Insidensi
dan Epidemiologi
-
44 juta penduduk Amerika menjalani pengobatan
Osteoporosis dan 68%-nya adalah perempuan
-
Tahun 2007, penduduk Amerika, 10 juta orang telah
mempunyai Osteoporosis dan 34 juta orang lainnya memiliki pengurangan densitas
tulang
-
Satu dari dua perempuan , dan satu dalam empat pria
berusia lebih dari 50 tahun, mempunyai Osteoporosis yang berhubungan dengan
fraktur dalam kehidupannya.
c)
Faktor Risiko Ospeoposis
Faktor
risiko yang tidak dapat dirubah : jenis kelamin, umur, etnik, riwayat keluarga.
Sedangkan Faktor
risiko yang dapat dirubah : hormon sex, asupan kalsium dan vitamni D, gaya
hidup, merokok.
d)
Klasifikasi
Osteoporosis
Osteoporosis dapat dibagi dalam 2 golongan
besar menurut penyebabnya yaitu disebut primer, bila penyebabnya tidak
diketahui, dan sekunder bila Osteoporosis itu diakibatkan oleh berbagai kondisi
klinik. Osteoporosis primer terutama terjadi pada wanita pasca-menopause dan
wanita usia lanjut yang dikenal sebagai tipe 1 yaitu
postmenopausal Osteoporosis dan tipe 2 yaitu senile Osteoporosis. Perbedaan di antara keduanya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
|
Tipe I
|
Tipe II
|
Umur
(tahun)
|
50-75
|
>70
|
Perempuan:
laki-laki
|
6:1
|
2:1
|
Tipe
kerusakan tulang
|
Terutama trabekular
|
Trabekular dan kortikal
|
Bone
turn over
|
Tinggi
|
Rendah
|
Lokasi
fraktur terbanyak
|
Vertebra, radius distal
|
Vertebra, kolum femoris
|
Fungsi
hormon Parathyroid
|
Menurun
|
Meningkat
|
Efek
Estrogen
|
Terutama skeletal
|
Terutama ekstraskeletal
|
Etiologi
Utama
|
Defisiensi estrogen
|
Penuaan, defisiensi estrogen
|
|
|
|
Tabel 3. Perbedaan Osteoporosis Tipe I dan
Tipe II
e)
Patogenesis Osteoporosis
Remodeling tulang Osteoporosis adalah sebagai
akibat karena kehilangan densitas tulang oleh karena proses normal pertambahan
usia pada perubahan remodeling tulang yang dipengaruhi faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Perubahan ini dikarenakan rendahnya puncak massa tulang yang
dicapai. Maka dari itu proses remodeling tulang adalah proses fundamental pada
patofisiologi Osteoporosis.
Remodeling tulang diatur oleh sorkulasi
hormon, diantaranya: estrogen, androgen, vitamin D dan Parathyroid Hormon,
hormon lokal (Insulin Growth Factor (IGF) I dan II, Transforming Growth Factor
(TGF) β,
Parathyroid Hormone-Related Peptide (PTHrP), Interleukin, Prostaglandin,
Tumor Necrosis Factor (TNF) dan Osteoprotegrin ligand.
Pengaruh lainnya berasal dari nutrisi
(terutama asupan calcium) dan aktifitas fisik. Hasil akhir proses remodeling
adalah tulang yang telah diresorpsi digantikan dengan sejumlah jaringan tulang
baru. Kemudian massa skeleton tulang cenderung konstan sampai mencapai puncak
massa tulang saat dewasa muda. setelah usia 30-45tahun, proses remodeling
dan formasi semakin tidak seimbang, yaitu proses remodeling melebihi formasi.
Ketidakseimbangan ini bervariasi onsetnya pada setiap orang, dan dapat berbeda
pula lokasi skeletal yang terkena. Kehilangan massa tulang yang besar
dapat dikarenakan aktivitas osteoclast dan atau karena penurunan aktivitas
osteoblast.
Pada perempuan, adanya estrogen dan
progesteron mengatur formasi tulang. Untuk perempuan, kehilangan densitas
tulang terjadi lebih cepat dalam tahun pertama setelah menopause dan berlanjut
sampai usia postmenopause. Osteporosis yang dialami pada perempuan juga dapat
dialami para pria ketika perkembangan resorbsi tulang terjadi terlalu cepat dan
penggantian formasi tulang yang terlalu lambat. Osteoporosis lebih sering
terjadi jika seseorang tidak mencapai puncak densitas tulang selama massa
pertumbuhan tulang terjadi.
Defisiensi estrogen memegang peranan penting
pada pertumbuhan tulang dan proses penuaan. Penurunan estrogen memacu aktivitas
remodeling tulang yang makin tidak seimbang karena osteoblas tidak dapat
mengimbangi kerja osteoclast, akibatya densitas tulang akan menurun dan tulang
menjadi porotik. Dengan meningkatnya aktivitas osteoclast menyebabkan
terbentuknya Lakuna Howship yang dalam dan putusnya trabekula. Defisiensi
estrogen juga menyebabkan meningkatnya osteoclasttogenesis. Faktor-faktor
sistemik yang turut merangsang osteoclasttogenesis yaitu hormon Parathyroid dan
1,25 (OH)2 vitamin D.
f)
Diagnosis
Pemeriksaan
Penunjang
Pada Pasien Osteoporosis atau dicurigai
Osteoporosis dianjurkan untuk melalukan pemeriksaan densitas tulang. Bone Mineral Density (BMD) tes adalah cara terbaik untuk
memperkirakan kesehatan tulang. BMD tes dapat mengidentifikasi Osteoporosis,
memperkirakan risiko terjadinya fraktur, dan mengukur respon terhadap terapi
Osteoporosis. DXA tes atau X-ray dual energi adalah tes yang paling banyak
dikenal dalam pemeriksaan BMD. Tidak nyeri, sedikit mirip seperti pemeriksaan
x-ray tetapi lebih sedikit terekspos dengan sinar radiasi. Alat ini dapat
mengukur densitas tulang pangguil dan vertebra. Tes densitas tulang dapat
melakukan :
Ø Mendeteksi
densitas tulang yang rendah sebelum terjadi fraktur
Ø Memastikan
diagnosis Osteoporosis jika sudah terjadi satu atau beberapa fraktur
Ø Memprediksi
terjadinya fraktur di kemudian hari
Ø Menentukan
rata-rata kehilangan densitas tulang dan memonitor efek terapi.
Untuk
mendiagnosis Osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang dilakukan pemeriksaan
yang menilai kepadatan tulang. Densitometer (Lunar) menggunakan teknologi DXA
(dual-energy x-ray absorptiometry). Pemeriksaan ini merupakan gold standard
diagnosis Osteoporosis. Pemeriksaan kepadatan tulang ini aman dan tidak
menimbulkan nyeri serta bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit. DXA sangat
berguna untuk: wanita yang memiliki risiko tinggi menderita Osteoporosis
penderita yang diagnosisnya belum pasti penderita yang hasil pengobatan
Osteoporosisnya harus dinilai secara akurat. Densitometer-USG. Pemeriksaan ini
lebih tepat disebut sebagai screening awal penyakit Osteoporosis. Hasilnya pun
hanya ditandai dengan nilai T. dimana nilai lebih -1 berarti kepadatan tulang
masih baik, nilai antara -1 dan -2,5 berarti osteopenia (penipisan tulang),
nilai kurang dari -2,5 berarti Osteoporosis (keropos tulang). Keuntungannya
adalah kepraktisan dan harga pemeriksaannya yang lebih murah.
Klasifikasi
Densitas Massa Tulang / DMT (menurut WHO) .
Ø
Normal
: DMT antara +1 dan –1 rata rata dewasa muda.
Ø
Osteopenia
: DMT antara –1 sampai –2,5.
Ø
Osteoporosis
: DMT < – 2,5.
Ø
Osteoporosis
berat : DMT < -2,5 disertai fraktur.
Pemeriksaan
Bikomiawi Tulang
Beberapa pemeriksaan tulang dapat dilakukan
untuk pengukuran / perkiraan proses remodeling tulang. Biokimiawi marker dari
metabolisme tulang yang digunakan dalam klinik, diantaranya :
Untuk menilai formasi tulang
Ø Serum
bone-specific alkaline phosphatase
Ø Serum
osteocalcin
Ø Serum
propeptide of type 1 procollagen
Untuk
menilai proses resorpsi tulang
Ø Urine
and serum cross-linked N-telopeptide
Ø Urine
and serum cross-linked C-telopeptide
Ø Urine
total free deoxypyridinoline
Ø Urine
hydroxyproline
Ø Serum
tartrate-resistant acid phosphatase
Ø Serum
bone gycosides
Pemeriksaan
Radiologis
1)
Vertebra
:
Ø Vertebra
plana: kompressi Ant dan Post.
Ø Wedge
verebra: kompressi –anterior.
Ø Deformitas
bikonkaf: Fish mouth, kompresi central.
Ø Central
end plate fraktur.
Ø Schmorl’s
nodes: Herniasi discus, kompresi cart.end plate
2)
Pelvis
dan femur :
Ø Densitas
tulang menurun: fossa iliaka,atas aseta. Collum Femoris.
Ø Penipisan
korteks: Iliac crest,pubis,iskhium,Ca-F.
Ø Perubahan
Trabekula: proksimal femur.
Pemeriksaan
Densiometri
Densitas massa tulang berhubungan dengan
kekuatan tulang dan risiko fraktur. Berbagai penelitian menunjukan peningkatan
risiko fraktur pada densitas massa tulang yang menurun progresif dan
terus-menerus.
Densiometri tulang merupakan pemerilsaan yang
akurat dan persis untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur bahkan
diagnosis Osteoporosis. Berbagai metode digunakan untuk menilai densitas tulang
adalah: Single-Photon Absorptiometry (SPA) dan Single X-Ray Absorptiometry
(SPX) lengan bawah dan tumit; Dual-Photon Absorptiometry (DPA) dan Dual-Energy
X-Ray Absorptiometry (DPX) Lumbal dan proksimal Femur; dan Quantitative
Computed Tomography (QCT).
g)
Faktor
risiko terkena fraktur Osteoporosis :
Faktor yang tidak dapat dirubah
Ø Riwayat jatuh saat usia muda
Ø Riwayat fraktur
Ø Umur tua
Ø Sex perempuan
Ø Ras kaukasian
Ø Dementia
|
Faktor risiko yang dapat
dirubah
Ø Defisiensi estrogen
Ø Asupan calcium rendah
Ø Penyakit kronis yang mengubah
affek mental dan fisik dan konsumsi obat-obatan, seperti sedativ dan antidepresan.
Ø Alkoholism
Ø Terjatuh
Ø Aktifitas fisik yang tidak
adekuat
Ø Kesehatan yang buruk
Ø Kelainan mata / visus mata yang
tidak dikoreksi
|
Tabel 4 . Faktor Resiko
Fraktur []
h)
Pencegahan
Berbagai macam cara dilakukan dan diteliti
untuk mencari cara pencegahan Osteoporosis, diantaranya:
1)
Aktivitas
fisik
Aktivitas fisik ringan pada pasien geriatri
secara teratur selama 3 tahun dapat pula meningkatkan massa tulang, sedangkan
latihan yang lebih berat selama 1 tahun tidak memberikan hasil yang bermakna.
Mekanisme efek aktivitas fisik terhadap penambahan massa tulang belum
diketahui. Orang yang mempunyai gaya hidup sedentary dianjurkan
untuk melakukan latihan fisik teratur seperti berjalan kaki atau bersepeda.
Latihan fisik yang lebih berat seperti lari cepat atau senam tidak dianjurkan
untuk mencegah terjadinya cedera tendon dan otot.
2)
Diet
Banyak alasan yang dikemukakan mengapa wanita
menopause sering disertai dengan keseimbangan calcium yang negatif. Di
antaranya ialah menurunnya absorpsi calcium atau kegagalan hidroksilasi 1,25
dihidrokalsiferol (metabolit vitamin D) atau keduanya. Hal lain ialah asupan
calcium yang tidak adekuat, sering terjadi akibat wanita tersebut takut gemuk
atau diet yang bertujuan menurunkan kadar kolesterol untuk mencegah risiko
penyakit kardiovaskuler sehingga tidak mau minum susu atau produk susu. Bila
ada kesukaran untuk memberikan produk susu maka dianjurkan dalam bentuk tablet
Calcium.
3)
Gaya hidup
dan kebiasaan
Pengkonsumsi alcohol berat lebih besar
kemungkinan kehilangan massa tulang dan menyebabkan fraktur, karena buruknya
nutrisi dan meningkatnya risiko terjatuh.
Obat-obatan yang menyebabkan kehilangan massa
tulang adalah : Pemakaian jangka panjang glukokortikoid (sering digunakan untuk
arthritis, asthma, Crohn’s disease, lupus, dan penyakit paru-paru, ginjal dan
hepar). Selain itu bisa karena obat antikonvulsan (misalnya: phenytoin
(Dilantin) dan barbiturate), obat gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
(digunakan untuk mengobatai endometriosis), penggunaan jangka panjang antasida,
obat anti kanker, pembertian tiroid hormone. Maka penting untuk dibicarakan
pada penyakit tersebut untuk penanganan risiko Osteoporosis.
Jika seseorang terkena osteoposis, maka
penting baginya untk melakukan latihan olah raga. Aktivitas yang diambil harus
hati-hati, dan harus dihindari dari kegiatan yang mempunyai risiko tinggi
terjatuh (misalnya skating), kegiatan dengan tekanan tinggi (misalnya
lompat-lompat), dan kegiatan yang mengharuskan lekukan-lekukan (misalnya golf).
Berikut adalah panduan penting untuk kegitan yang aman demi pencegahan fraktur
tulang apabila seseorang sudah terkena Osteoporosis :
i)
Penatalaksanaan
Obat-obatan
1)
Terapi pengganti estrogen
(Estrogen replacement therapy) Karena defisiensi estrogen mempercepat hilangnya massa
tulang pada wanita menopause maka terapi pengganti estrogen dapat mencegah
terjadinya Osteoporosis dan komplikasinya, terutama fraktur spinal. Dalam
berbagai penelitian ternyata didapatkan bahwa kadar calsitonin plasma meningkat
pada wanita yang mendapat terapi estrogen. Jadi mungkin mekanisme kerjanya
ialah estrogen menghambat resorpsi tulang melalui stimulasi calsitonin.
2)
Calcium dan Vitamin D. Asupan Calcium inadequate memicu terjadinya
Osteoporosis. Makanan sumber calcium bisa didapat dari susu, keju, yogurt,
sayuran hijau, sardines, salmon, daging, ayam, dst. Bila Asupan dari makanan
kurang, dianjurkan untuk mengkonsumsi supplement calcium. Sedangkan Vitamin D, memainkan
peranan penting dalam penyerapan Calcium dan dalam kesehatan tulang. Vitamin D
tergantung dengan bantuan paparan sinar matahari. Bila perlu, berikan 400- 800
IU vitamin D per hari. Tidak dianjurkan mengkonsumsi dalam jumlah besar.
Rekomdasi Intake Calcium
(mg/hari)
National Academy of Sciences (1997)
|
Usia
|
mg/day
|
Birth-6
months
|
210
|
6
months-1 year
|
270
|
1-3
|
500
|
4-8
|
800
|
9-13
|
1300
|
14-18
|
1300
|
19-30
|
1000
|
31-50
|
1000
|
51-70
|
1200
|
70
or older
|
1200
|
Pregnant or lactating
|
14-18
|
1300
|
19-50
|
1000
|
|
|
Tabel 5. Rekomedasi Asupan Calcium menurut
National Academy of sciences
3)
Alternatif terapi pengganti estrogen
Pada keadaan estrogen tidak dapat diberikan,
dapat diganti dengan etidronate 400 mg empat kali sehari selama 2 minggu,
kemudian istirahat selama 13 minggu (dapat diberikan calcium), selanjutnya
diulang lagi. Pilihan lain ialah dengan memberikan kalsitonin 50?100 MRC unit 3
kali per-minggu.
Manajemen
Fraktur Osteoporosis
Pengobatan Osteoporosis meliputi managemen
akut fraktur bersamaan dengan pengobatan penyakit yang mendasariya. Fraktur
Collum femoris biasanya membutuhkan perbaikan secara pembedahan bila keadaan
pasien memburuk lagi. Berg
antung pada lokasi dan beratnya fraktur,
kondisi sendi yang berdekatan, dan status generalis pasien, dapat sampai
dilakukan prosedur penanganan seperti: ORIF dengan pins dan plates,
hemiarthroplasties total arthroplasties.
Prosedur bedah diikuti dengan
rehabilitasi intensif untuk mengembalikan pasien ke fungsinya seperti
saat sebelum fraktur. Fraktur tulang panjang sering membutuhkan internal
ataupun eksternal fiksasi. Fraktur lain, misalnya fraktur Vertebra, Costa, Pelvic,
biasanya ditangani dengan terapi suportif saja, requiring tidak ada penanganan
spesifik ortopedik.
Fraktur kompresi vertebra, 25-30%-nya
menunjukan gejala nyeri punggung. Untuk penanganan simtomatik akut fraktur,
diberikan analgetik, termasuk obat non-steroidal anti inflamatory dan atau
acetaminofen, kadang-kadang ditambah dengan obat golongan narkotik (codeine /
oxycodoone).
Beberapa penelitian, mendemonstrasikan bahwa
Calcitonin dapat mengurangi nyeri yang berhbungan dengan akut fraktur kompresi
Vertebra. Dalam perkembangag terakhir ini, tetapi masih dalam penelitian,
diberikan injeksi percutaneus ke artificial cement (polymethylmethacarylate) ke
Corpus vertebra (Vertebroplasty atau Kyphoplasty). Istirahat tirah baring dalam
jangka pendek bisa untuk meredakan nyeri, teapi secara keseluruhan mobilisasi
dini direkomendasikan karena sama hal nya dengan mencegah kehilangan densitas
tulang yang berhubungang dengan immobilisasi. Disamping itu, dengan mengunakan
soft-elastic-stly brace dapat memfasiitasi mobilisasi dini. Spasme otot kadang
terjadi dengan fraktur kompresi kaut dan dapat diterapi dengan perelaksasi otot
dan terapi penghangatan.